Showing posts with label Cerpen. Show all posts
Showing posts with label Cerpen. Show all posts

Wednesday, March 11, 2009

Ber Awal Dari Pertanyaan Cucu Kepada Kakek Nya

Kisah ini berawal atas sebuah pertanyaan sang cucu ke pada kakeknya..
Cucu : kek…kenapa tangan kanan kakek tidak bias di buka? Memang sudah cacat dari lahir ia kek?
Kakek : Aduh kamu mengapa itu yang jadi bahan pertanyaan sih? Kamu belum cukup umur untuk mengetahui mengapa hal ini terjadi pada tangan kanan kakek.
Cucu: jangan salah kek, walau aku belum cukup umur tetapi aku sudah dapat mengerti sesuatu yang akan dan apapun yang akan kakek bicarakan.
Kakek: kenapa anak-anak sekarang lebih tua ucapanya dari kakek2?
Cucu: kebanyakan minum susu kuda liar si kek…ayo dong kek, cerita kenapa tangan kakek?

Kejadian ini terjadi pada tahun 2020 yang lalu, dimana saat itu kondisi Negara kita kian menjadi Negara yang sangat barbar, arogansi terhadap manusia yang lemah. Sekarang juga kek, nagpain lagi lihat2 tahun2 dahulu? Memang benar, akan tetapi tidak sedahsyat dahulu pada zaman kakek.
Seorang anak perempuan presiden Negara ini mengeluarkan 1 prmintaan yang awlanya di anggap permintaan yang sangat gila. Permintaan nya juga pada orang-orang yang dapat di katakan tidak masuk dalam katagori yang di perhitungkan keberadaannya di Negara ini. Meraka adalah “para pengemis simpang empat lampu merah”
Rera adalah anak perempuan presiden Negara ini yang memiliki sifat tidak dapat di tolak akan permintaannya, akan tetapi bila permintaannya itu adalah sesuatu yang memiliki arti dan makan positif. Selain cantik juga bersifat gesit disertai tubuh yang sensasional.
Rera telah meminta sejumlah pengemis di semua pelosok Negara hingga berjumlah 1975, akan tetapi rera belum menemukan seorang yang dirasa dapat menyelesaikan permintaan ini. Sepanjang hari terus mencari dan mencari. Pencarian begitu unik dengan setiap senja hari selalu melewati simpang empat dan memberikan uang kertas yang telah di ludahinya kepada salah satu pengemis. Akan tetapi rera semakin simpati karena walaupun uang yang di berikannya telah bercampur ludah akan tetapi sosok pengemis pendiam ini masih melakukan senyum tanpa beban kepada rera. Bathin rera berkata mungkinkah dia yang akan menutup rangkaianku dalam pencarian permintaan ini? Senja dalam pencarian sudah memasuki hari ke 16. keesokan harinya rera kembali menghampiri sosok pengemis yang pendiam tersebut dan sama dengan memberikan uang yang telah di beri ludahnya. Tanpa di duga sang pengemis, rera turun dari mobil mewahnya, walau lampu merah telah berganti dengan lampu hijau, akan tetapi rera tidak perduli. Boleh saya membisikkan satu kalimat ke telinga kamu? Silakan !! saya memintamu untuk melakukan permintaanku..apakah kamu bersedia? Nanti aku pikirkan nona !! rera tersenyum dengan puas dan pencarian akan permintaaannya genap menjadi 1976 orang pengemis. Semabari berjalan menuju ke mobil, rera berkata dengan tegas “ siapapun yang kamu pilih hanya saya yang dapat mengatakan benar atau salah, setalah itu saya akan jadi milikmu !! mungkin dia lagi horny maka terlalu pede mengatakan hal itu…
Tiba-tiba sang kakek berhenti berbicara karena mendapat selaan dari cucu2 nya dengan mempertanyakan “apa tuh kek horny?” weis…maaf kakek ralat kalimatnya, udalah kek jangan malu2… untuk usia 17 tahun ke samping kan kek kata itu?

Monday, February 2, 2009

Yth. Maharani

Cerpen Firman Venayaksa

Embun bertasbih bersama dedaunan. Kuntum mawar menggeliat dipagi hari. Detik indah itu Maharani dinobatkan menjadi seorang istri. Dia telah mendapatkan belahan hatinya yang mungkin sekian lama ia cari. Sebut saja nama suaminya Hilman, seorang akademikus sukses yang mempunyai titel dokter. Hari demi hari berjalan sebagaimana layaknya seorang pemabuk berat yang meminum anggur cinta. Bagi Maharani cinta adalah lantunan suara flute yang menyayat, menggelora disetiap dada insan, sedangkan dusta merupakan kata-kata haram yang hanya menggelinjang dihati para penyair saja. Penyair itu mungkin Taufik Ismail, Gunawan Muhamad, Sutardji, Soni Farid Maulana, Sitok Srengenge, Lukman A sya, atau bisa jadi penyair-penyairan seperti saya.
“Menikah juga kau Ni.” Aku bergumam setelah membaca surat undangan yang betul-betul borjuis. Aku teringat kembali masa-masa mudaku waktu menjadi mahasiswa. Sambil membuat makalah Maharani, kami ngobrol menerawang ke masa depan.
“Kamu mau menikah umur berapa, Ni?” Tanyaku sambil melihat monitor komputer cembung didepanku dan jemari yang berdansa diatas tuts keyboard.
“Mungkin sekitar 27 tahunan Kang.”
“Kok tua sekali. Memangnya mau menunggu siapa?”
“Entahlah, tapi bagi saya umur segitu sepertinya cocok.”
“Mau tidak menunggu saya?” Sedikit penasaran. “Saya mau meneruskan ke S-2, setelah itu saya akan datang melamar.” tambahku.
“Jangan dulu memikirkan kesana Kang. Kita kan masih mahasiswa. Terlalu muda kalau kita memikirkan pernikahan. Memangnya Akang punya apa sampai-sampai berani mau melamar saya.”
“Setidaknya saya punya cinta Nona.”
“Lalu?”
“Lalu akan saya masukan puisi, cerpen dan artikel ke surat kabar.”
“Setelah itu?”
“Saya bisa pentas musikalisasi puisi dan performance Art.”
“memangnya itu bisa menghidupi kita kelak?”
“Tidak sih. Tapi setidaknya kita bisa bercermin ke tetangga kita, Kang Beni R Budiman dan Teh Nenden. Walaupun hidup mereka hanya dari kegiatan menulis, toh mereka bisa membangun keluarga yang rukun.”
“Itu kan mereka. Mereka adalah sastrawan yang sudah jadi, Sedangkan Akang?”
“Saya bisa melebihi mereka dengan karya-karya saya.” Ujarku optimis
“Sudahlah Kang, jangan terlalu ambisius. Saya hanya ingin agar calon suami saya kelak bisa memahami saya, tidak egois, tidak urakan seperti akang.”
“Apa maksudmu dengan kata-kata tadi?”
“Saya hanya ingin lelaki yang normal. Kuliah berpakaian rapih, tidak suka merokok, rambut tidak sembrawutan. Meluangkan waktunya untuk mendengarkan khotbah di Mesjid. Tidak menghabiskan waktunya dengan mencari inspirasi nonsens kesana kemari, tidak berdiskusi sampai larut malam dan….”
“Sudah Ni, jangan kau teruskan kata-kata itu.”
“Kecuali kalau akang mengubah prilaku, lalu…”
“Lalu berpakaian rapih, menyelesaikan kuliahnya dengan cepat , dapat IP besar, dan tidak berpikir yang aneh-aneh. Kalau kau menginginkan pria seperti itu, rasanya kau telah salah mencintai seseorang Ni. Saya tidak bisa memberikan apapun, selain…”
“Selain apa Kang?”
“Selain….puisi.” Saya mengatakannya dengan ketakberdayaan dan penuh ragu.
***
Kursor berkedip-kedip di layar. Saya dan Maharani tak lagi berkata-kata. Kami menyadari bahwa terlalu terjal jurang pemikiran yang bertengger di otak kami. Akhirnya kami bersepakat untuk tak lagi menyabit-nyabit tentang kehidupan kami yang terkatung-katung dilaut pengharapan. Kami masih saling menyayangi, tapi cita-cita dan idealisme telah meruntuhkan segalanya, Kebutaan tentang penasaran pengertian, teriakkan tentang desahan hati, tak kami hiraukan. Mungkin ini bukan yang terbaik bagi hati kami yang sudah terlalu rapat dibalut canda tawa, kesedihan, pagutan gelinjang cemburu, kepercayaan kami terhadap kekekalan cinta dan berribu pengorbanan, tapi kami sadari bahwa setiap keputusan akan menghasilkan resiko. Kami mengobati hati yang terluka dengan mengatakan ‘inilah proses alamiah dari ketakberdayaan manusia dalam mengarungi lautan asmara, pekik kerinduan dan kepincangan perasaan’. Akhirnya segalanya terbentur takdir. Cinta itu berpencaran mencari apa? Entah.
***
Waktu telah bersijingkat cepat. Usiaku terpagut tiga tahun dengan Maharani. Kini usiaku 29 tahun, Maharani telah menunaikan cita-citanya dengan menikah di usia 27 tahun. Dahsyat! Benar-benar Perfeksionis tulen. Lagi-lagi idealisnya teruji. Dia menikah dengan seorang akademikus cerdas. Sedangkan saya, setelah menyelesaikan tesis dan mendapatkan gelar Magister Humaniora dari Universitas Indonesia, malah menjadi pengangguran sukses. Di Hardisk-ku telah bersemayam berribu file puisi, berratus cerpen dan artikel sastra dan filsafat saya save. Tapi hasilnya nihil. Tak ada satu penerbitpun mau menerbitkan tulisan saya. Kalau ke surat kabar memang sudah sering dimuat, tapi honornya hanya cukup untuk jatah rokok dan kopi sebulan. Pernah juga saya mencoba melamar menjadi dosen, tapi harus memasukan sejumlah uang, wah kurang ajar! Dari pada saya harus berkolusi, menjadi binatang-binatang melata kapitalistik, lebih baik menjadi manusia bebas, pengangguran abadi, atau setidaknya dengan bekal ilmu yang saya dapatkan, kawan-kawan penyair sering menyebut saya si Gelandangan Tasawuf atau si Ploretar Pahit yang tersesat di kampus.
***
Walaupun berat hati, saya datang juga ke resepsi pernikahannya di ball room Hotel Sangrilla. Sebenarnya saya ingin menghormati Maharani, minimalnya berpakaian rapih: memakai kemeja dan celana katun, tapi apa daya. Honorku belum lagi datang. Setelah saya e-mail ke Majalah Horison, mereka menjawab ‘mohon maaf honor anda belum bisa kami kirimkan karena sedang ada demonstrasi dari para pegawai PT Pos Indonesia, tertanda Moh. Wan Anwar.’
Saya berjalan dengan sungsang, masuk ke ruangan resepsi. Tiba-tiba saya terinterupsi oleh wajah yang sempat saya kenal. Wajahnya memikatku dari segala arah. Berpakaian anggun; putih bersih, layaknya seorang bidadari. Bidadari yang pernah saya cintai, yang pernah menghentikan aliran darahku dengan desahan nafasnya yang mengalun tenang. Dan kerudung yang dulu pernah saya sentuh itu menari-nari di pelupuk mataku. Tepat di sebelahnya, seorang pemuda gagah memakai tuxedo, persis seperti pangeran Inggris, lukisan Agus Jebred yang terpampang di Galeri Barak. Saya kikuk. Saya terenyuh. Tak dapat menahan kegalauan. Mereka benar-benar pasangan yang serasi. Lalu saya membanding-bandingkan bagaimana kiranya jika Maharani menikah dengan saya, seorang manusia terlunta yang hanya punya gelora puisi bersarang didada, selainnya tak ada. Gelandangan berrambut panjang, pakaian dekil, kumal dan bau busuk tubuh yang jarang mandi, hanya bertemu air ketika berwudhu saja. Ya Allah, saya tak dapat membayangkan bagaimana jika Maharani menikah dengan manusia gila ini.
“Venayaksa, kau datang juga.” Suara itu menyadarkan lamunan saya.
“Heh Ghaib, sudah lama kita tak berjumpa, akhirnya kita bertemu disini.” Dia adalah teman akrabku ketika mahasiswa dulu, Taufik S Ghaib.
“Saya kira kau tak akan datang ke pernikahan ini, hati besarmu patut di beri sanjungan, kawan. Bagaimana masih terus menulis?”
“Ya seperti itulah. Bagaimana dengan kamu?”
“Kau tahu sendiri, sekarang saya menjadi guru di SMU, jadi tak ada waktu untuk menulis.”
“Ngomong-ngomong anak siapa yang kau bawa?”
“Ini anakku yang kedua, si Buyung, sedangkan yang satu lagi saya titipkan kepada neneknya di Bandung.”
“Gila, kau sudah menikah. Mengapa kau tidak mengundang? Punya anak dua lagi, produktif sekali kau.”
“Terus terang, bukannya saya lupa. Hanya saja setelah wisuda dulu saya tidak tahu lagi dimana alamatmu. Kau seperti angin, menghilang begitu saja tak ada kabar berita kawan.”
“Sudahlah, jangan bicarakan tentang dahulu. Banyak kenangan pahit yang tak ingin saya ungkapkan ditempat ini. Heh, mana istrimu?” Saya mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Disana, ayo!” Ghaib mengajakku. Sebenarnya saya tidak mau bertemu lagi dengan teman-teman dulu, yang mengakibatkan kejadian-kejadian kisah percintaan itu terulang kembali.
“Mah, masih kenal dengan orang gila ini?”
Seorang perempuan dengan perawakan kecil, memakai jilbab putih berdiri didepanku.
“Ya Tuhan, Akang bagaimana kabarnya?” Sudah saya duga sebelumnya. Lina. Akhirnya mereka menikah juga. Saya teringat kembali tentang kisah romantisme melankolis kami. Saya, Maharani, Ghaib dan Lina. Kami biasa pergi bersama. Jika perkuliahan selesai, kami biasa berjumpa di taman Partere, kegiatan konvensional yang apatis tapi begitu nikmat dan menyayat relung jiwaku.
“Ah Lina, baik alhamdulilah.” Saya jabat tangannya.
“Wah-wah-wah, tidak berubah, masih seperti dulu. Rambut gondrong, pakaian kotor dan pasti masih jarang mandi, kan?” Kami tertawa terbahak-bahak.
“Sebetulnya ada yang ingin kami katakan dari dulu. Tapi kami selalu gagal mencarimu.”
“Memang setelah meneruskan kuliah di Universitas Indonesia, saya tidak mempunyai alamat yang jelas. Surat pernikahan Maharani pun saya dapatkan dari Deni. Hanya dia yang tahu di mana saya biasa hinggap dan berteduh.”
“Deni muridmu itu?”
“Ya semacam itulah.”
“Begini. Semenjak wisuda itu, Maharani terus mencarimu. Kami kasihan sekali dengan dia. Badannya makin kurus, hidupnya menjadi tak terurus, sampai-sampai dia tak mau bicara dengan siapapun. Akhirnya kami bawa Maharani ke dokter spesialis di Hasan Sadikin. Ternyata dokter spesialis itu adalah temannya waktu di SMA. Dia merawat Maharani penuh dengan perhatian. Entah mengapa, tiba-tiba saja Maharani sembuh dari sakitnya. Badannya menjadi sehat kembali. Dialah dokter itu, dokter Hilman.” Gaib menunjuk ke seorang lelaki yang berada disamping Maharani.
“Bukannya kami menghalangi Akang untuk mengucapkan selamat kepada maharani, tapi kami takut pikirannya terusik kembali. Jadi tanpa mengurangi rasa hormat, sebaiknya Akang segera pergi dari sini, sebelum Maharani melihat Akang.”
Saya tak bisa berbuat apa-apa. Kaki sungsang menuju pintu. Sebelum benar-benar keluar, saya menatap wajah itu lama. Sebuah penyesalan terlahir kembali. Penyesalan yang diselimuti dosa.

KUDA ENTERPRISE

Cerpen Muhammad Uzer

Pagi sekali, Herman datang ke rumahku. Wajahnya cerah. Di tangannya, membawa map hijau. Ada sesuatu yang sepertinya penting hari itu. Tak banyak basa-basi. Herman mengusulkan sebuah ide baru. Aku anggap, ide temanku ini termasuk ide gila juga.
Tapi, Herman bilang, justru ide cemerlang.
“Ini ide cemerlang, Bung!” Kata Herman dengan mata berbinar.
“Sebentar, Man, duduklah dulu. Mau kopi atau te?”
“Sudahlah, tak perlu repot-repot,” Jawab Herman, seperti tak sabar lagi ingin mengatakan ide-nya padaku.
“Sejak dua hari yang lalu, aku selalu memikirkan ide ini. Aku yakin, usaha ini bakal jadi usaha yang dapat menghasilkan keuntungan besar. Bahkan, bisnis ini, akan menjadi usaha pertama di kota ini. Kita akan menjadi kaya, Bung!” Herman makin berapi-api.
Ia tak menghiraukan, ketika aku menuangkan kopi dalam galas dihadapannya.
“Coba. coba kau lihat, Bung! Kita akan mendirikan bisnis kuda. Ya Kuda Enterprise. Kita bergerak dalam bisnis perkudaan! Bagaimana? ”
“Bisnis perkudaan?” Aku mulai serius.
“Ya! Langkah awal yang akan kita susun, yaitu menjadikan kuda sebagai obyek wisata di kota ini. Kita akan membuka rental kuda. Dan kuda ini khusus menyewakan kuda-kuda yang kita miliki. Coba, coba kau bayangkan, teman,” Herman bergeser duduk. ia mendekatiku, untuk memberi keyakinan padaku.
“Kalau seandainya, setiap orang menyewa seekor kuda, dengan biaya 15 ribu rupiah perjam, lalu ada lima puluh orang yang menyewa setiap harinya, berapa duit kita akan dapat setiap harinya?” Herman makin girang membayangkan dirinya akan mendapat masukan uang banyak dari bisnis ini.
Aku masih diam. Herman memang begitu. Kalau bicara persoalan bisnis, susah untuk dipotong. Salah-salah, aku yang akan kena semprot.
“Yakinlah, usaha ini tak bakal sia-sia!”
“Hei! kenapa kau diam saja? kau tak setuju?!” Herman penasaran dengan sikapku yang sedari tadi hanya menjadi pendengar.
Sesaat, aku menghela napas. Aku tersenyum kecil. Herman kembali menatapku, setelah sebelumnya meneguk kopi. Ia serius. Menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulutku.
“Oke,..Oke. Aku dapat mengerti ide gilamu itu,” Herman terperanjat, ketika kusebut idenya gila. Tetapi ia tak berkomentar. Tapi dari paras wajahnya, Herman menunjukkan kata tidak setuju dengan kalimatku tadi.
“Kalau idemu itu akan diwujudkan, dari mana kita harus mendapat kuda-kuda pilihan. Lalu dimana kita akan membuka bisnis ini. Kita perlu tempat yang strategis, Man.”
“Lho, kenapa bingung? Kau kan punya tempat yang cukup besar dan representatif untuk membuka bisnis ini.”
“Maksudmu, kantorku, begitu?”
“Ya! kenapa?!”
“Tidak, Man. Kantor itu kantor partai. Bukan kantor kuda. Lagi pula, gedung itu disewa dari uang partai. Duit sewanya jelas dari uang rakyat. Bukan dari kuda!”
“Tapi, kau pemegang kebijakan tertinggi di Partai itu. Ya, katakan saja, bisnis ini untuk kesejahteraan anggota partai, kan beres.” Herman mempolitisir kepentingannya dengan lembaga yang kini aku pimpin.
“Tidak, Man. Aku tak bisa.”
“Alaaah, jangan sok idealis, Bung! kita memakai ruangan itu kan tidak semua. yang bagian belakang, di pojok itu kan bisa. Bisa, kan?”
Herman, sepertinya tahu persis bagian-bagin gedung itu. Memang, di kantorku, ada ruangan kosong yang memungkinkan untuk dimanfaatkan. “Kalau nanti usaha ini sudah besar, kita kan bisa menyewa kantor sendiri. Aku rasa bukan masalah jika kita pindah. Asal, kita sudah cukup uang. Gimana? Setuju?!” Herman terus merayuku.
“Baiklah. Aku sepakat.”
wajah Herman berbinar mendengar jawabanku. Ia menyalamiku pertanda bahagia karena ia berhasil membujukku. Herman tak tahu jika aku masih ada perasaan dongkol dengan gagasan gila temanku itu.
“Setelah cukup maju, kita akan membuka lagi jual beli kuda. Yah, untuk sementara waktu, kita juga akan sosialisasi, bahwa kuda akan menjadi alternatif kendaraan bebas polusi di kota ini, jangan helicak, itu proyek yang sudah dikapling Pemda dan Polda. Kita cari yang lain saja.”
“Bebas Polusi?”
“Ya, bebas polusi. Kuda kan tidak seperti helicak yang mengeluarkan asap. Kalau cuma tinja, itu mudah. Bikin saja kantong khusus di pantat kuda, sehingga, kalau kudanya berak, kan bisa tertampung di dalam kantong itu. Nanti usaha pembuat penampung tahi kuda ini, dapat juga menjadi peluang bisnis kita.Pokoknya banyak lah. Kau tak perlu khawatir kalau kita rugi. ”
“Soal izin bagaimana?”
“Itu soal gampang. Dengan otoritasmu, aku akan jual namamu. Kau kan termasuk orang yang berpengaruh di kota ini. Siapa sih yang tidak kenal dengan nama dan jabatanmu.”
“Kau yakin usaha ini akan berhasil?” Aku meragukan obsesi Herman.
“Kenapa tidak? Strategi pertama, Kita kampayekan saja, kendaraan bermotor itu kendaraan yang menimbulkan polusi. Kita jaring LSM-LSM yang peduli terhadap anti polusi. Kita ajak mereka untuk turun ke jalan. Lalu kita kaitkan juga dengan kenaikan BBM. Jalan keluarnya apalagi kalau bukan berkuda. Kendaraan tanpa bahan bakar dan bebas polusi. Bereskan?!”
“Lalu?” Aku mulai paham dengan gagasan Herman.
“Lalu, aku akan bekerja sama dengan pemerintah, agar pemerintah juga ada perhatian terhadap ketertiban kuda ini. Misalnya, setiap para penunggang kuda harus memiliki semacam STNK, SIB, atau Surat Izin Berkuda. dan Paling penting, adalah pajak dan aturan berkuda. kalau sudah menyangkut pajak dan retribusi, pemerintah pasti membuka peluang. Ini kan proyek. Becak saja begitu, apalagi hanya berkuda.”
Sampai selepas dhuhur, Herman masih berceloteh tentang rencana yang melambung itu.
“Coba kamu bayangkan, jika nanti di kota ini sudah dipenuhi oleh kuda. setiap pagi, orang di kota ini akan melihat para eksekutif memaju kuda. Pakaiannya perlente, berdasi, tetapi kendaraannya Kuda, tanpa polusi. Wah, hebat, orang pakai dasi, sambil berkuda..ha...ha....haa. Bayangkan, Bung! Bayangkan!” Herman betul-betul gila! Pikirku. Bagaimana mungkin orang berdasi, tetapi harus mengendarai Kuda. Ini pasti akan lebih lucu dari Srimulat. Tapi biarlah.
“Lalu?”
“Ya, lalu, kita akan membuka kursus bagi para calon penunggang kuda. Dan yang lulus, akan segera mendapat SIB. Mereka dinyatakan berhak mengendarai kuda.”
“Lalu?”
“Kau ini hanya bilang lalu, lalu...terus. Ini bukan lalu, tapi ini bisnis Kuda Enterprise.”
“Iya, aku ngerti. Tapi aku kan butuh argumentasimu. Bisnis perlu konsep yang jelas. Jangan berani-berani babi.”
“Ya..ya...”
“Kemudian, kalau nanti kendaraan kuda ini makin berkembang, pasti harga kuda akan semakin tinggi. Sebab, hukum ekonomi mengatakan, semakin banyak permintaan, harga akan semakin naik.”
“Dan saat itu, sudah waktunya, kita membuka show room kuda kelas tinggi. Kendaraan bis akan diganti dengan kereta kuda. Para orang kaya, akan berbondong-bondong ke show room untuk membeli kuda pilihan. Kita akan buat masyarakat yang mencintai kereta kuda.”
“Sudah kau pikirkan hambatan apa yang akan mengahalangi bisnis ini?” Aku menyahuti dingin.
“Hambatan? Hambatan yang mana?”
“Ya, kalau saja ada protes dari para juragan bis misalnya?”
“Ya itu tadi. Kita hantam mereka dengan isu polusi dan pencemaran udara. Lagian, kita akan mendapat simpati, kalau kita mau ikut kampaye anti polusi dan pencemaran udara.”
“Kalau mereka mengancam akan menghabisi Kuda-kuda kita! Kuda kita dibunuh misalnya?”
“Ini memang resiko terburuk. Tetapi, kalau kita punya banyak massa, kita bentuk saja LSM peduli binatang. Yah, LSM yang akan membela hak-hak asasi binatang Kuda. Kalau ini dapat bentuk, mereka akan mati-matian membela, karena mereka tidak rela kalau kuda harus dibunuh.”
“Tapi, sebelumnya, kita mesti bentuk Lembaga yang bertugas untuk memantau para penunggang Kuda. Ya, bisa kita namakan Horse Watch, atau apa lah yang penting ada watch-nya, gitu.”
“Kita ini miskin rumah sakit binatang, Bagaimana, kalau kuda-kuda kita sakit?”
“Ya, kalau sudah cukup modal, kita dirikan saja rumah sakit khusus Kuda.Kita sediakan layanan apap saja. Sejak pemeriksaan kehamilan Kuda, Persalinan, dan proses pengembangannya. “
“Sukucadangnya?”
“Ini juga peluang bagi bisnis kita. Kita akan membuka pusat pembelajaan yang di dalamnya menyediakan segala peralatan dan acsesoris kuda. Sejak pelana, sepatu kuda, tali, kantong penampung tinda, dan acsesoris lainnya yang berkaitan dengan kuda.”
“Kalau ada pemasok kuda liar yang kualitasnya lebih dari kuda-kuda kita bagaimana?”
“Ini memang agak sulit. Tapi tak perlu diresahkan. Kita bermain dari izin impor kuda. Kita akan tanamkan orang-orang kita, untuk menghambat keluarnya impor kuda dari luar daerah. Katakan saja, dalam otonomi daerah, semua kebijakan harus ditentukan oleh Pemerintah daerah sendiri. Termasuk perizinan impor Kuda.”
“Caranya?”
“Mudah saja. Berikan peluang masyarakat untuk mengembangkan Kuda. Dan kuda induknya harus mengambil dari show room kita. Kalau masyarakat sudah banyak menjadi pemelihara kuda, akan mudah kita mendesak, agar pemerintah tidak mengeluarkan izin impor kuda. Ya, kayakan saja, ini akan merusak perekonomian masyarakat, terutama bagi para peternak Kuda. Kan Beres!”
Aku sebenarnya sudah cukup lelah mendengar ocehan Herman sejak pagi tadi. Untung Istriku sedang pulang kampung. Jadi aku tak punya kewajiban memberi nafkah batin malam itu. Aku biarkan saja Herman ketika malamnya meneruskan gagasannya itu.
“Man, kau bilang, kita akan dirikan rental kuda. Lalu SDM-nya dari mana?”
“Itu gampang. Aku kan punya banyak kawan yang bisa diberdayakan. Mereka kita suruh saja bekerja pada kita. Soal gaji, itu bisa kompromi. Teman-temanku tak pernah bertanya soal gaji. kalau upahnya di bawah UMR, ya kita katakan saja, kita baru merintis. Atau, mereka bisa memandang aku sebagai teman mereka. Jadi, itu soal mudahlah.”
“Kalau sampai upah mereka di bawah UMR, itu sama saja Kau pakai ideologi kuda. Ini akan menimbulkan protes kalangan buruh. Ini sama halnya, kita sedang mengudai teman sendiri, dong.”
“Ya, bukan begitu, Bung. Ini kan tahap awal. Yang pasti, kita tuntut mereka adalah kerja profesional. Ya, kalau saja, gaji mereka tidak mencukupi, ya kita izinkan saja mereka menerima aplop atau tips dari para pelanggan.”
“ Wah, kayak wartawan amplop saja.”
“ Ya, itu risiko. Kalau wartawan jadi kudanya pemilik modal, apa tidak lebih baik menerima aplop saja. Atau kalau mau mempertahankan idealismenya, ya keluar saja. Di perusaahn kita juga begitu. “ Herman tersenyum masam. Ia seakan tersinggung dengan kalimatku. Sebab, diam-diam, Herman juga memiliki perusahaan pers, yang dirinya juga memperlakukan para wartawannya seperti kuda tungganngan. Gajinya di bawah UMR, tetapi dituntut profesional. Herman, sebenarnya lebih gila dari pada aku.
“Kenapa kau diam?”
“E, e, ah enggak, kau hanya...hanya..”
“Nah, ini proposalnya,” Aku serahkan sebundel berkas proposal, lengakp dengan anggaran biaya. “Ini kau serahkan ke DPP. Jadi usaha ini, katakan saja bagian dari pemberdayaan ekonomi rakyat melalui partaimu.”
“Wah, ini bahaya, Bung. Kalau DPP sampai tahu akal bulusmu, aku bisa dipecat sebagai pimpinan partai. Itu mencoreng nama baikku di mata publik. Ini tidak bisa.”
“ Ini hanya tawaran, Bung. Lagi pula, lima tahun ke depan kau kan tidak akan memegang partai ini. Ya, kalau kau tidak sepakat dengan gagasan ini, aku akan cari orang lain saja.”
“Bung,” Herman menepuk pundaku. Ia mencoba menenangkan kegalauan yang sedang berkecamuk. Antara memilih ya dan tidak untuk menggolkan proposal Herman ke DPP.
“Kau yakin sajalah, pihak Pusat tidak akan mengetahui usaha ini. Mereka hanya akan bangga, jika usaha ini maju. Lain tidak. “
“Sebenarnya, aku tertarik dengan gagasanmu itu. Tapi, kau tak setuju dengan akal bulusmu, untuk mempolitisir parpol ini untuk kepentingan bisnis.”
“Alaaah, idealis lagi! Ketua Dewan saja bisa mengeluarkan surat Sakti. Apalagi kau yang punya massa di DPD, DPC dan cabang lainnya. Kenapa mesti takut?”
“Ini tidak manusiawi, Man. Kalau menggaji karyawan di bawah UMR, itu sama halnya, kita telah memperlakukan teman sendiri sebagai kuda. Tidak bisa!”
Herman terdiam. Ia menghela napas panjang, menandakan melepas kekesalan dengan sikapku. Ia kemudian minta pamit. Ia ambil kembali proposal itu. Tanpa salam, ia meninggalkan rumahku. ia tampak kecewa. Tapi biarlah. Ini pelajaran bagi Herman, bahwa aku tidak bisa memperlakukan karyawan seperti kuda.
Setahun kemudian, usaha Kuda Enterprise.Ltd benar-benar terwujud. Tidak jelas, bagaimana ceritanya, tiba-tiba Herman menemuiku dan menyetujui rencana yang sempat tertunda ini. Produk PT Kuda Enterprise.Ltd mulai mengisi setiap kota di provinsi ini. Tetapi, di balik kesuksesannya, tampak jelas, Herman akan segera digugat oleh para karyawannya. Upah para karyawan belum standar UMR. Uli, Gus, Sehab, Robi, para kepala divisi, sepakat melakukan aksi, menggugat Herman. Herman jelas tidak tahu, kalau semua ini, sebenarnya politik yang aku gagasa untuk menjatuhkan Herman di mata Publik.
Kini masyarakat mengetahui, Herman pimpinan partai yang otoriter. Pimpinan PT Kuda Eenterprise.Ltd yang memperlakukan karyawannya seperti kuda. Aku hanya tersenyum puas ketika Herman menjadi pesakitan di pengadilan. Orang-orang pun berteriak memprotes ke DPRD. Beberapa snapduk terbentang. Diantara spanduk itu bertuliskan : “Hancurkan perusahaan kuda.” “Habisi perusahaan yang memperlakukan karyawannya seperti kuda.”
Kuda Enterprise.Ltd bisa saja tutup. Ia dapat saja digulung atau dibakar habis oleh rakyat. Tetapi mungkinkah mentalitas meng-kudai bisa berakhir? Entah!***

KEMATIAN YANG TERINDAH

Cerpen Donny Anggoro

Hidup saya hancur. Kecelakaan mobil yang saya alami membuat kaki saya lumpuh. Cacat seumur hidup. Ya, itulah ‘vonis’ yang dijatuhkan dokter kepada saya. Memang kedua kaki saya tidak sampai diamputasi. Tapi setelah mendengar vonis tersebut buat apa memiliki kaki jika tidak bisa dipergunakan lagi?
Saya pasrah. Saya akan menjadi lelaki tua yang kesepian, duduk di atas kursi roda dan sepanjang hari merenung di depan jendela apartemen memandang anak-anak kecil bermain ditemani kedua orangtua mereka. Atau mengamati orang-orang yang sedang berjalan dan berlari dengan lincah. Oh! Betul-betul hidup yang membosankan.
Tunangan saya, Mary Ann setiap hari menghibur saya. Saya bersyukur memiliki kekasih seperti dia. Dia mengatakan tetap bersama saya meski saya cacat.
"Kamu mau hidup seperti ini?"
"Maksudmu?"
"Hidup bersama dengan lelaki cacat tentunya membosankan. Dan jika kita jadi menikah nanti kau akan terus menerus merawat saya seperti anak kecil. Bukankah orang cacat sangat tergantung dengan orang lain?"
"Tentu saja kita akan terus bersama. Kita tetap akan menikah." sahut Mary sambil membelai rambut saya. Air mata saya mengalir. Saya terharu. Kehadirannya membesarkan hati saya. Meski setiap malam saya berpikir, jangan-jangan Mary cuma mau menghibur saja. Atau jangan-jangan Mary cuma kasihan dan suatu saat nanti dia meninggalkan saya setelah sebelumnya meninggalkan surat. Surat berisi permintaan maaf dan di dalamnya ada sehelai cek, biaya sekedarnya untuk kehidupan saya.
Kalau boleh saya berargumentasi saya tak salah berpikiran demikian. Tunangan saya Mary adalah wanita yang pintar dan cantik. Bentuk tubuhnya begitu indah. Sebelum menjadi wartawan, pekerjaannya sekarang ia bahkan pernah menjadi model. Banyak lelaki yang tidak tertarik kepadanya, termasuk saya.
Suatu hari ketika musim gugur saya serasa mendapat hadiah lotere. Betapa tidak, Mary Ann terlebih dahulu menyatakan cintanya kepada saya. Wanita yang selama ini saya anggap cuma teman biasa saja di kantor dan kebetulan menjadi idaman setiap lelaki di kantor ternyata mencintai saya.
Katanya saya berbeda. Lho, apanya yang menarik, tanya saya heran. Katanya saya sederhana, dewasa, gesit, pintar, dan jujur. Itu yang membuat dia tertarik. Katanya saya tidak seperti lelaki yang pernah mengajaknya kencan.
"Pandangan-pandangan mereka tersirat hanya ingin mencumbui dan meniduri saya." ucap Mary. "Mereka berpikiran kotor. Mereka cuma mau tubuh saya." lanjutnya sambil meneguk sisa coke di gelas.
"Beda dengan kamu. Kamu selalu menolong saya tanpa pamrih. Kau ingat, berita yang saya buat dipuji-puji atasan karena kamu banyak membantu." lanjutnya.
"Akh, tapi itu kan hanya bantuan biasa saja. Bukankah kebetulan saya punya banyak daftar nama-nama nara sumber untuk tugasmu."
"Tapi kamu lain. Memang posisi di kantor mengharuskan kita bekerja sama. Kamu sabar melayani telepon saya malam-malam ketika waktunya orang tidur. Dulu saya merasa pertanyaan saya mungkin kedengarannya tolol untuk orang sepintar kamu. Kamu tak seperti lelaki lain yang ringan tangan tetapi seterusnya menggoda saya dan meminta saya macam-macam."
Jujur saya juga menyukainya. Bukankah hal yang wajar seorang pria mengagumi kecantikan wanita? Tetapi saya tahu diri. Saya merasa hanya lelaki biasa yang beruntung bekerja satu kantor dengannya. Mary sangat luwes dan cantik. Tentu saja lelaki yang cocok dengannya adalah lelaki gagah seperti yang terjadi dalam film-film dan novel-novel roman. Terus terang saya dulu cuma berani mengkhayalkan Mary Ann menjadi kekasih saya, tak lebih.
Berkali-kali saya cubit tangan saya. Saya tampar pipi saya, saya jambak rambut saya. Saya tahu ini cuma mimpi. Ternyata ini kenyataan. Mary Ann benar menyukai saya. Selanjutnya kami menjadi sepasang kekasih. Bahkan kami sepakat untuk bertunangan. Teman-teman kantor mengucapkan selamat kepada saya.
"You’re lucky man." ucap Fred, sahabat saya.
"Thank’s."
Tetapi itu dulu. Ketika saya masih gesit. Sekarang saya cacat. Hidup saya hanya melulu di atas kursi roda. Apakah Mary tetap mencintai saya? Bukankah ia sangat cantik dan menarik? Bukankah ia amat mudah mendapatkan lelaki yang diinginkannya? Pikiran-pikiran itu terus mengganggu saya. Saya berubah menjadi pencemburu. Saya selalu cemburu jika Mary berbicara dengan lelaki lain, bahkan kepada kakak saya sendiri, Tom jika membesuk saya di rumah sakit. Saya akui saya takut kehilangan Mary.
Suatu hari pikiran saya berubah. Saya relakan jika suatu saat Mary benar-benar meninggalkan saya. Dia berhak mendapatkan kebahagiaan. Toh, dulu saya tidak berminat mengejarnya. Hidupnya tentu akan sia-sia menghabiskan waktu dengan lelaki cacat yang sepanjang hari duduk di kursi roda.
"Tolong buang jauh-jauh pikiran itu. Saya tidak akan meninggalkanmu."
"Kau tentunya malu punya suami cacat. Kau wartawan dan pengarang yang berhasil, peraih macam-macam hadiah dan penghargaan. Kau selalu jadi buah bibir. Kau publik figur. Sayang suaminya cacat..."
"Percayalah, aku tidak akan meninggalkanmu. Aku sangat mencintaimu."
"Mary, masa-masa saya sudah lewat. Sekarang hidup saya pasti membosankanmu. Saya tak bisa menemanimu ke pesta, jalan-jalan, bahkan tidak bisa lagi berdansa denganmu. Saya sudah tidak berguna lagi."
"Jangan begitu. Aku masih mencintaimu dan kita akan menikah."
"Akh, kau tentunya berkata begitu karena kasihan. Selanjutnya kau tertarik dengan lelaki lain dan..."
"Sudah! Sudah! Kenapa kau tidak percaya?"
Saya diam.
"Saya akan selalu mendampingimu, sampai mati. Kita akan bersama selamanya."
***
Pekerjaan saya bertahun-tahun kata atasan saya mengagumkan. Saya tetap di sana bahkan naik pangkat sebagai redaktur sekaligus editor. Saya tidak harus selalu hadir di kantor. Saya diberi kepercayaan mengerjakan segala pekerjaan di apartemen saya. Saya juga diberikan anak buah yang ditugaskan khusus untuk membantu karena saya cacat dan tidak mungkin lagi ditugaskan ke luar negeri. Saya juga menggaji seorang pembantu sekaligus sopir yang siap membantu saya bepergian.
Saya senang sekali. Bekerja di tempat tinggal sendiri sungguh menyenangkan. Saya membuat novel dan cerita pendek yang semasa aktif dulu sebagai wartawan selalu tidak pernah selesai saya kerjakan. Akan tetapi sampai sekarang ini saya tetap tidak bisa menghilangkan keraguan saya terhadap Mary. Setiap pagi jika ia pamit ke kantor diam-diam saya berpikir ia sekaligus mengucapkan selamat berpisah secara tidak langsung. Setiap hari saya menyiapkan diri untuk berpisah dengannya. Meski selama ini saya tidak pernah mengatakan kepada siapapun saya terus membiarkan prasangka itu di dalam otak saya. Saya siap kelak hidup sendiri tanpa Mary.
Saya juga maklum jika memang benar Mary menjalin cinta dengan pria lain. Dia berhak mendapatkannya. Setiap hari saya siapkan diri jika sangkaan saya benar. Suatu malam pikiran saya berubah lagi. Ternyata hati kecil saya tak rela Mary pergi. Saya teramat mencintainya. Saya tidak rela Mary akan pergi dari kehidupan saya.
Malam ini saya terus berpikir bagaimana caranya Mary tidak akan meninggalkan saya. Saya berpikir besok saya akan pergi ke Fess, membeli pistol sekaligus mengurus surat-suratnya. Saya akan menembaknya dan kemudian menembak kepala saya sendiri. Saya akan hidup bersama selamanya di alam baka. Tetapi setelah saya pikir-pikir kematian macam itu terlalu ekstrim. Saya bisa membangunkan seluruh penghuni apartemen. Tetangga-tetangga saya di sini kebanyakan wanita-wanita tua yang hidup menjanda. Apalagi mereka memiliki penyakit jantung yang teramat serius. Saya tak tega orang lain akan menanggung musibah. Masakan saya ingin hidup abadi tetapi orang lain juga ikut mati? Tidak adil. Bisa-bisa nanti di sana saya bakalan dicaci sebagai biang keladi kematian mereka!
Saya coret rencana membeli pistol di agenda saya. Saya harus pikirkan jalan lain. Saya berpikir akan membeli racun. Ya, ya. Saya akan meracuni istri saya. Tapi racun apa yang paling ampuh? Saya tidak paham obat-obatan. Yang saya ketahui paling-paling cuma racun tikus dan serangga. Baunya saja menyengat. Pasti rencana saya gagal. Bahkan ketika giliran saya menenggaknya saya sendiri pasti akan muntah karena tidak tahan baunya.
Racun memang jalan yang tepat. Tetapi racun apa? Racun apa yang tidak bau dan tidak menimbulkan bekas? Saya buka-buka buku alamat saya. Saya cari daftar nama-nama nomor telepon relasi, orang-orang yang pernah saya jadikan nara sumber dan responden saya. Tentunya yang berprofesi sebagai dokter atau bekerja di klinik, apotik atau laboratorium. Saya telepon mereka satu per satu. Ternyata semuanya sudah pindah. Wah, harus kemana lagi saya?
***
Setelah membaca novel Agatha Christie, hadiah ulangtahun saya ke-34 dari Fred saya mendapat ilham. Setelah dibaca saya pandangi sampul buku itu. Novel ini baru sempat sekarang saya baca. Keterlaluan, pikir saya. Masak hadiah yang diberikan dua tahun yang lalu baru sekarang saya baca? Saya tersenyum. Pasti Fred kesal jika saya cerita kalau novel hadiah darinya baru sempat saya baca sekarang. Teman saya ini paling rajin membelikan saya buku. Untung jika bertelepon Fred tak pernah menyinggungnya. Dia sudah terlalu sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai dosen di London.
Saya simpan kembali novel itu ke dalam rak. Selanjutnya saya mencatat dalam agenda saya. Saya berpikir besok saya akan membeli sianida. Anak buah saya pasti bisa mendapatkannya. Kebetulan saya baru mengetahui Max, anak buah saya itu mempunyai sepupu yang bekerja sebagai kepala laboratorium klinik kesehatan. Tentunya ia bisa mengusahakan untuk mendapatkannya.
"Kau mengerti bagaimana rasa penasaran pengarang seperti saya. Masakan saya membuat cerita matinya seseorang dengan sianida tetapi tak mengetahui bagaimana bentuk sianida?" kata saya.
"Tapi bagaimana wawancara kita dengan Stephen Macmillan? Bukankah itu untuk bahan berita kita?" tanya Max.
"Ah, sudahlah. Tunda saja dulu. Lagipula kantor kita tak terlalu buru-buru membutuhkan wawancara itu. Saya kan teman baiknya. Saya tahu semua jadwal acaranya. Telepon dia, batalkan pertemuanmu. Mumpung saya lagi ada waktu menyelesaikan novel saya yang sudah dua tahun tertunda-tunda." kata saya berbohong.
***
Malam ini saya siapkan suasana romantis di apartemen saya. Chinese food, makanan kesukaan Mary sudah dipesan. Lilin di meja sudah saya nyalakan. Meja sudah disiapkan. Musik di ruang tengah juga saya pasang.
Tepat jam delapan malam istri saya pulang dari kantor. Ia begitu bahagia saya menyiapkan makan malam yang romantis. Kami berciuman. Bau parfumnya yang merangsang itu membuat saya semakin tidak ingin berpisah dengannya.
"Ini benar-benar kejutan." katanya.
"Ketahuilah, sudah lima tahun usia perkawinan kita dan kau masih mendampingi saya. Kita sudah terlalu lama tenggelam dalam kesibukan masing-masing sehingga tak sempat lagi melakukan hal seperti ini." kata saya.
Setelah makan saya tuang dua gelas anggur. Tentunya minuman tersebut sudah diberi sianida, racun yang menurut novelis Agatha Christie teramat bersih dan tidak meninggalkan bekas. Sehabis menenggak anggur kami asyik tertawa-tawa sambil mengenang masa pacaran dulu. Malam semakin larut. Kami mengantuk. Sudah saatnya tidur.
***
Keesokan paginya, entah saya berada di mana saya menyaksikan diri saya sendiri dan Mary sudah tak bernyawa di atas ranjang. Max, anak buah saya dan Billy, pembantu sekaligus sopir pribadi saya yang menemukan kami. Mereka panik. Selanjutnya apartemen saya penuh dengan polisi dan paramedis. Saya puas. Semuanya berjalan begitu indah, sesuai rencana. Saya juga menyaksikan Max menemukan lembaran naskah yang berserakan di meja kerja saya. Sebuah naskah cerpen Kematian Yang Terindah. Dibacanya sejenak cerpen itu. Saya berharap suatu saat Max mengirimkannya bersama naskah saya yang lain. Saya ingat pernah berjanji kepada sebuah penerbit buku yang sudah sekian lama menunggu selesainya naskah buku kumpulan cerpen saya untuk diterbitkan.