Monday, February 2, 2009

Yth. Maharani

Cerpen Firman Venayaksa

Embun bertasbih bersama dedaunan. Kuntum mawar menggeliat dipagi hari. Detik indah itu Maharani dinobatkan menjadi seorang istri. Dia telah mendapatkan belahan hatinya yang mungkin sekian lama ia cari. Sebut saja nama suaminya Hilman, seorang akademikus sukses yang mempunyai titel dokter. Hari demi hari berjalan sebagaimana layaknya seorang pemabuk berat yang meminum anggur cinta. Bagi Maharani cinta adalah lantunan suara flute yang menyayat, menggelora disetiap dada insan, sedangkan dusta merupakan kata-kata haram yang hanya menggelinjang dihati para penyair saja. Penyair itu mungkin Taufik Ismail, Gunawan Muhamad, Sutardji, Soni Farid Maulana, Sitok Srengenge, Lukman A sya, atau bisa jadi penyair-penyairan seperti saya.
“Menikah juga kau Ni.” Aku bergumam setelah membaca surat undangan yang betul-betul borjuis. Aku teringat kembali masa-masa mudaku waktu menjadi mahasiswa. Sambil membuat makalah Maharani, kami ngobrol menerawang ke masa depan.
“Kamu mau menikah umur berapa, Ni?” Tanyaku sambil melihat monitor komputer cembung didepanku dan jemari yang berdansa diatas tuts keyboard.
“Mungkin sekitar 27 tahunan Kang.”
“Kok tua sekali. Memangnya mau menunggu siapa?”
“Entahlah, tapi bagi saya umur segitu sepertinya cocok.”
“Mau tidak menunggu saya?” Sedikit penasaran. “Saya mau meneruskan ke S-2, setelah itu saya akan datang melamar.” tambahku.
“Jangan dulu memikirkan kesana Kang. Kita kan masih mahasiswa. Terlalu muda kalau kita memikirkan pernikahan. Memangnya Akang punya apa sampai-sampai berani mau melamar saya.”
“Setidaknya saya punya cinta Nona.”
“Lalu?”
“Lalu akan saya masukan puisi, cerpen dan artikel ke surat kabar.”
“Setelah itu?”
“Saya bisa pentas musikalisasi puisi dan performance Art.”
“memangnya itu bisa menghidupi kita kelak?”
“Tidak sih. Tapi setidaknya kita bisa bercermin ke tetangga kita, Kang Beni R Budiman dan Teh Nenden. Walaupun hidup mereka hanya dari kegiatan menulis, toh mereka bisa membangun keluarga yang rukun.”
“Itu kan mereka. Mereka adalah sastrawan yang sudah jadi, Sedangkan Akang?”
“Saya bisa melebihi mereka dengan karya-karya saya.” Ujarku optimis
“Sudahlah Kang, jangan terlalu ambisius. Saya hanya ingin agar calon suami saya kelak bisa memahami saya, tidak egois, tidak urakan seperti akang.”
“Apa maksudmu dengan kata-kata tadi?”
“Saya hanya ingin lelaki yang normal. Kuliah berpakaian rapih, tidak suka merokok, rambut tidak sembrawutan. Meluangkan waktunya untuk mendengarkan khotbah di Mesjid. Tidak menghabiskan waktunya dengan mencari inspirasi nonsens kesana kemari, tidak berdiskusi sampai larut malam dan….”
“Sudah Ni, jangan kau teruskan kata-kata itu.”
“Kecuali kalau akang mengubah prilaku, lalu…”
“Lalu berpakaian rapih, menyelesaikan kuliahnya dengan cepat , dapat IP besar, dan tidak berpikir yang aneh-aneh. Kalau kau menginginkan pria seperti itu, rasanya kau telah salah mencintai seseorang Ni. Saya tidak bisa memberikan apapun, selain…”
“Selain apa Kang?”
“Selain….puisi.” Saya mengatakannya dengan ketakberdayaan dan penuh ragu.
***
Kursor berkedip-kedip di layar. Saya dan Maharani tak lagi berkata-kata. Kami menyadari bahwa terlalu terjal jurang pemikiran yang bertengger di otak kami. Akhirnya kami bersepakat untuk tak lagi menyabit-nyabit tentang kehidupan kami yang terkatung-katung dilaut pengharapan. Kami masih saling menyayangi, tapi cita-cita dan idealisme telah meruntuhkan segalanya, Kebutaan tentang penasaran pengertian, teriakkan tentang desahan hati, tak kami hiraukan. Mungkin ini bukan yang terbaik bagi hati kami yang sudah terlalu rapat dibalut canda tawa, kesedihan, pagutan gelinjang cemburu, kepercayaan kami terhadap kekekalan cinta dan berribu pengorbanan, tapi kami sadari bahwa setiap keputusan akan menghasilkan resiko. Kami mengobati hati yang terluka dengan mengatakan ‘inilah proses alamiah dari ketakberdayaan manusia dalam mengarungi lautan asmara, pekik kerinduan dan kepincangan perasaan’. Akhirnya segalanya terbentur takdir. Cinta itu berpencaran mencari apa? Entah.
***
Waktu telah bersijingkat cepat. Usiaku terpagut tiga tahun dengan Maharani. Kini usiaku 29 tahun, Maharani telah menunaikan cita-citanya dengan menikah di usia 27 tahun. Dahsyat! Benar-benar Perfeksionis tulen. Lagi-lagi idealisnya teruji. Dia menikah dengan seorang akademikus cerdas. Sedangkan saya, setelah menyelesaikan tesis dan mendapatkan gelar Magister Humaniora dari Universitas Indonesia, malah menjadi pengangguran sukses. Di Hardisk-ku telah bersemayam berribu file puisi, berratus cerpen dan artikel sastra dan filsafat saya save. Tapi hasilnya nihil. Tak ada satu penerbitpun mau menerbitkan tulisan saya. Kalau ke surat kabar memang sudah sering dimuat, tapi honornya hanya cukup untuk jatah rokok dan kopi sebulan. Pernah juga saya mencoba melamar menjadi dosen, tapi harus memasukan sejumlah uang, wah kurang ajar! Dari pada saya harus berkolusi, menjadi binatang-binatang melata kapitalistik, lebih baik menjadi manusia bebas, pengangguran abadi, atau setidaknya dengan bekal ilmu yang saya dapatkan, kawan-kawan penyair sering menyebut saya si Gelandangan Tasawuf atau si Ploretar Pahit yang tersesat di kampus.
***
Walaupun berat hati, saya datang juga ke resepsi pernikahannya di ball room Hotel Sangrilla. Sebenarnya saya ingin menghormati Maharani, minimalnya berpakaian rapih: memakai kemeja dan celana katun, tapi apa daya. Honorku belum lagi datang. Setelah saya e-mail ke Majalah Horison, mereka menjawab ‘mohon maaf honor anda belum bisa kami kirimkan karena sedang ada demonstrasi dari para pegawai PT Pos Indonesia, tertanda Moh. Wan Anwar.’
Saya berjalan dengan sungsang, masuk ke ruangan resepsi. Tiba-tiba saya terinterupsi oleh wajah yang sempat saya kenal. Wajahnya memikatku dari segala arah. Berpakaian anggun; putih bersih, layaknya seorang bidadari. Bidadari yang pernah saya cintai, yang pernah menghentikan aliran darahku dengan desahan nafasnya yang mengalun tenang. Dan kerudung yang dulu pernah saya sentuh itu menari-nari di pelupuk mataku. Tepat di sebelahnya, seorang pemuda gagah memakai tuxedo, persis seperti pangeran Inggris, lukisan Agus Jebred yang terpampang di Galeri Barak. Saya kikuk. Saya terenyuh. Tak dapat menahan kegalauan. Mereka benar-benar pasangan yang serasi. Lalu saya membanding-bandingkan bagaimana kiranya jika Maharani menikah dengan saya, seorang manusia terlunta yang hanya punya gelora puisi bersarang didada, selainnya tak ada. Gelandangan berrambut panjang, pakaian dekil, kumal dan bau busuk tubuh yang jarang mandi, hanya bertemu air ketika berwudhu saja. Ya Allah, saya tak dapat membayangkan bagaimana jika Maharani menikah dengan manusia gila ini.
“Venayaksa, kau datang juga.” Suara itu menyadarkan lamunan saya.
“Heh Ghaib, sudah lama kita tak berjumpa, akhirnya kita bertemu disini.” Dia adalah teman akrabku ketika mahasiswa dulu, Taufik S Ghaib.
“Saya kira kau tak akan datang ke pernikahan ini, hati besarmu patut di beri sanjungan, kawan. Bagaimana masih terus menulis?”
“Ya seperti itulah. Bagaimana dengan kamu?”
“Kau tahu sendiri, sekarang saya menjadi guru di SMU, jadi tak ada waktu untuk menulis.”
“Ngomong-ngomong anak siapa yang kau bawa?”
“Ini anakku yang kedua, si Buyung, sedangkan yang satu lagi saya titipkan kepada neneknya di Bandung.”
“Gila, kau sudah menikah. Mengapa kau tidak mengundang? Punya anak dua lagi, produktif sekali kau.”
“Terus terang, bukannya saya lupa. Hanya saja setelah wisuda dulu saya tidak tahu lagi dimana alamatmu. Kau seperti angin, menghilang begitu saja tak ada kabar berita kawan.”
“Sudahlah, jangan bicarakan tentang dahulu. Banyak kenangan pahit yang tak ingin saya ungkapkan ditempat ini. Heh, mana istrimu?” Saya mencoba mengalihkan pembicaraan.
“Disana, ayo!” Ghaib mengajakku. Sebenarnya saya tidak mau bertemu lagi dengan teman-teman dulu, yang mengakibatkan kejadian-kejadian kisah percintaan itu terulang kembali.
“Mah, masih kenal dengan orang gila ini?”
Seorang perempuan dengan perawakan kecil, memakai jilbab putih berdiri didepanku.
“Ya Tuhan, Akang bagaimana kabarnya?” Sudah saya duga sebelumnya. Lina. Akhirnya mereka menikah juga. Saya teringat kembali tentang kisah romantisme melankolis kami. Saya, Maharani, Ghaib dan Lina. Kami biasa pergi bersama. Jika perkuliahan selesai, kami biasa berjumpa di taman Partere, kegiatan konvensional yang apatis tapi begitu nikmat dan menyayat relung jiwaku.
“Ah Lina, baik alhamdulilah.” Saya jabat tangannya.
“Wah-wah-wah, tidak berubah, masih seperti dulu. Rambut gondrong, pakaian kotor dan pasti masih jarang mandi, kan?” Kami tertawa terbahak-bahak.
“Sebetulnya ada yang ingin kami katakan dari dulu. Tapi kami selalu gagal mencarimu.”
“Memang setelah meneruskan kuliah di Universitas Indonesia, saya tidak mempunyai alamat yang jelas. Surat pernikahan Maharani pun saya dapatkan dari Deni. Hanya dia yang tahu di mana saya biasa hinggap dan berteduh.”
“Deni muridmu itu?”
“Ya semacam itulah.”
“Begini. Semenjak wisuda itu, Maharani terus mencarimu. Kami kasihan sekali dengan dia. Badannya makin kurus, hidupnya menjadi tak terurus, sampai-sampai dia tak mau bicara dengan siapapun. Akhirnya kami bawa Maharani ke dokter spesialis di Hasan Sadikin. Ternyata dokter spesialis itu adalah temannya waktu di SMA. Dia merawat Maharani penuh dengan perhatian. Entah mengapa, tiba-tiba saja Maharani sembuh dari sakitnya. Badannya menjadi sehat kembali. Dialah dokter itu, dokter Hilman.” Gaib menunjuk ke seorang lelaki yang berada disamping Maharani.
“Bukannya kami menghalangi Akang untuk mengucapkan selamat kepada maharani, tapi kami takut pikirannya terusik kembali. Jadi tanpa mengurangi rasa hormat, sebaiknya Akang segera pergi dari sini, sebelum Maharani melihat Akang.”
Saya tak bisa berbuat apa-apa. Kaki sungsang menuju pintu. Sebelum benar-benar keluar, saya menatap wajah itu lama. Sebuah penyesalan terlahir kembali. Penyesalan yang diselimuti dosa.

2 Comment:

Anonymous said...

bagus sekali....

Anonymous said...

menyentuh hati, terharu bacanya.bagaimana ya klo suatu saat nanti maharani btemu kembali dengan tokoh "saya"?hmm, cinta tak harus memiliki...ada g ya kisah yang seperti ini dalam kehidupan yang nyata?

Post a Comment