Cerpen Muhammad Uzer
Pagi sekali, Herman datang ke rumahku. Wajahnya cerah. Di tangannya, membawa map hijau. Ada sesuatu yang sepertinya penting hari itu. Tak banyak basa-basi. Herman mengusulkan sebuah ide baru. Aku anggap, ide temanku ini termasuk ide gila juga.
Tapi, Herman bilang, justru ide cemerlang.
“Ini ide cemerlang, Bung!” Kata Herman dengan mata berbinar.
“Sebentar, Man, duduklah dulu. Mau kopi atau te?”
“Sudahlah, tak perlu repot-repot,” Jawab Herman, seperti tak sabar lagi ingin mengatakan ide-nya padaku.
“Sejak dua hari yang lalu, aku selalu memikirkan ide ini. Aku yakin, usaha ini bakal jadi usaha yang dapat menghasilkan keuntungan besar. Bahkan, bisnis ini, akan menjadi usaha pertama di kota ini. Kita akan menjadi kaya, Bung!” Herman makin berapi-api.
Ia tak menghiraukan, ketika aku menuangkan kopi dalam galas dihadapannya.
“Coba. coba kau lihat, Bung! Kita akan mendirikan bisnis kuda. Ya Kuda Enterprise. Kita bergerak dalam bisnis perkudaan! Bagaimana? ”
“Bisnis perkudaan?” Aku mulai serius.
“Ya! Langkah awal yang akan kita susun, yaitu menjadikan kuda sebagai obyek wisata di kota ini. Kita akan membuka rental kuda. Dan kuda ini khusus menyewakan kuda-kuda yang kita miliki. Coba, coba kau bayangkan, teman,” Herman bergeser duduk. ia mendekatiku, untuk memberi keyakinan padaku.
“Kalau seandainya, setiap orang menyewa seekor kuda, dengan biaya 15 ribu rupiah perjam, lalu ada lima puluh orang yang menyewa setiap harinya, berapa duit kita akan dapat setiap harinya?” Herman makin girang membayangkan dirinya akan mendapat masukan uang banyak dari bisnis ini.
Aku masih diam. Herman memang begitu. Kalau bicara persoalan bisnis, susah untuk dipotong. Salah-salah, aku yang akan kena semprot.
“Yakinlah, usaha ini tak bakal sia-sia!”
“Hei! kenapa kau diam saja? kau tak setuju?!” Herman penasaran dengan sikapku yang sedari tadi hanya menjadi pendengar.
Sesaat, aku menghela napas. Aku tersenyum kecil. Herman kembali menatapku, setelah sebelumnya meneguk kopi. Ia serius. Menunggu kalimat apa yang akan keluar dari mulutku.
“Oke,..Oke. Aku dapat mengerti ide gilamu itu,” Herman terperanjat, ketika kusebut idenya gila. Tetapi ia tak berkomentar. Tapi dari paras wajahnya, Herman menunjukkan kata tidak setuju dengan kalimatku tadi.
“Kalau idemu itu akan diwujudkan, dari mana kita harus mendapat kuda-kuda pilihan. Lalu dimana kita akan membuka bisnis ini. Kita perlu tempat yang strategis, Man.”
“Lho, kenapa bingung? Kau kan punya tempat yang cukup besar dan representatif untuk membuka bisnis ini.”
“Maksudmu, kantorku, begitu?”
“Ya! kenapa?!”
“Tidak, Man. Kantor itu kantor partai. Bukan kantor kuda. Lagi pula, gedung itu disewa dari uang partai. Duit sewanya jelas dari uang rakyat. Bukan dari kuda!”
“Tapi, kau pemegang kebijakan tertinggi di Partai itu. Ya, katakan saja, bisnis ini untuk kesejahteraan anggota partai, kan beres.” Herman mempolitisir kepentingannya dengan lembaga yang kini aku pimpin.
“Tidak, Man. Aku tak bisa.”
“Alaaah, jangan sok idealis, Bung! kita memakai ruangan itu kan tidak semua. yang bagian belakang, di pojok itu kan bisa. Bisa, kan?”
Herman, sepertinya tahu persis bagian-bagin gedung itu. Memang, di kantorku, ada ruangan kosong yang memungkinkan untuk dimanfaatkan. “Kalau nanti usaha ini sudah besar, kita kan bisa menyewa kantor sendiri. Aku rasa bukan masalah jika kita pindah. Asal, kita sudah cukup uang. Gimana? Setuju?!” Herman terus merayuku.
“Baiklah. Aku sepakat.”
wajah Herman berbinar mendengar jawabanku. Ia menyalamiku pertanda bahagia karena ia berhasil membujukku. Herman tak tahu jika aku masih ada perasaan dongkol dengan gagasan gila temanku itu.
“Setelah cukup maju, kita akan membuka lagi jual beli kuda. Yah, untuk sementara waktu, kita juga akan sosialisasi, bahwa kuda akan menjadi alternatif kendaraan bebas polusi di kota ini, jangan helicak, itu proyek yang sudah dikapling Pemda dan Polda. Kita cari yang lain saja.”
“Bebas Polusi?”
“Ya, bebas polusi. Kuda kan tidak seperti helicak yang mengeluarkan asap. Kalau cuma tinja, itu mudah. Bikin saja kantong khusus di pantat kuda, sehingga, kalau kudanya berak, kan bisa tertampung di dalam kantong itu. Nanti usaha pembuat penampung tahi kuda ini, dapat juga menjadi peluang bisnis kita.Pokoknya banyak lah. Kau tak perlu khawatir kalau kita rugi. ”
“Soal izin bagaimana?”
“Itu soal gampang. Dengan otoritasmu, aku akan jual namamu. Kau kan termasuk orang yang berpengaruh di kota ini. Siapa sih yang tidak kenal dengan nama dan jabatanmu.”
“Kau yakin usaha ini akan berhasil?” Aku meragukan obsesi Herman.
“Kenapa tidak? Strategi pertama, Kita kampayekan saja, kendaraan bermotor itu kendaraan yang menimbulkan polusi. Kita jaring LSM-LSM yang peduli terhadap anti polusi. Kita ajak mereka untuk turun ke jalan. Lalu kita kaitkan juga dengan kenaikan BBM. Jalan keluarnya apalagi kalau bukan berkuda. Kendaraan tanpa bahan bakar dan bebas polusi. Bereskan?!”
“Lalu?” Aku mulai paham dengan gagasan Herman.
“Lalu, aku akan bekerja sama dengan pemerintah, agar pemerintah juga ada perhatian terhadap ketertiban kuda ini. Misalnya, setiap para penunggang kuda harus memiliki semacam STNK, SIB, atau Surat Izin Berkuda. dan Paling penting, adalah pajak dan aturan berkuda. kalau sudah menyangkut pajak dan retribusi, pemerintah pasti membuka peluang. Ini kan proyek. Becak saja begitu, apalagi hanya berkuda.”
Sampai selepas dhuhur, Herman masih berceloteh tentang rencana yang melambung itu.
“Coba kamu bayangkan, jika nanti di kota ini sudah dipenuhi oleh kuda. setiap pagi, orang di kota ini akan melihat para eksekutif memaju kuda. Pakaiannya perlente, berdasi, tetapi kendaraannya Kuda, tanpa polusi. Wah, hebat, orang pakai dasi, sambil berkuda..ha...ha....haa. Bayangkan, Bung! Bayangkan!” Herman betul-betul gila! Pikirku. Bagaimana mungkin orang berdasi, tetapi harus mengendarai Kuda. Ini pasti akan lebih lucu dari Srimulat. Tapi biarlah.
“Lalu?”
“Ya, lalu, kita akan membuka kursus bagi para calon penunggang kuda. Dan yang lulus, akan segera mendapat SIB. Mereka dinyatakan berhak mengendarai kuda.”
“Lalu?”
“Kau ini hanya bilang lalu, lalu...terus. Ini bukan lalu, tapi ini bisnis Kuda Enterprise.”
“Iya, aku ngerti. Tapi aku kan butuh argumentasimu. Bisnis perlu konsep yang jelas. Jangan berani-berani babi.”
“Ya..ya...”
“Kemudian, kalau nanti kendaraan kuda ini makin berkembang, pasti harga kuda akan semakin tinggi. Sebab, hukum ekonomi mengatakan, semakin banyak permintaan, harga akan semakin naik.”
“Dan saat itu, sudah waktunya, kita membuka show room kuda kelas tinggi. Kendaraan bis akan diganti dengan kereta kuda. Para orang kaya, akan berbondong-bondong ke show room untuk membeli kuda pilihan. Kita akan buat masyarakat yang mencintai kereta kuda.”
“Sudah kau pikirkan hambatan apa yang akan mengahalangi bisnis ini?” Aku menyahuti dingin.
“Hambatan? Hambatan yang mana?”
“Ya, kalau saja ada protes dari para juragan bis misalnya?”
“Ya itu tadi. Kita hantam mereka dengan isu polusi dan pencemaran udara. Lagian, kita akan mendapat simpati, kalau kita mau ikut kampaye anti polusi dan pencemaran udara.”
“Kalau mereka mengancam akan menghabisi Kuda-kuda kita! Kuda kita dibunuh misalnya?”
“Ini memang resiko terburuk. Tetapi, kalau kita punya banyak massa, kita bentuk saja LSM peduli binatang. Yah, LSM yang akan membela hak-hak asasi binatang Kuda. Kalau ini dapat bentuk, mereka akan mati-matian membela, karena mereka tidak rela kalau kuda harus dibunuh.”
“Tapi, sebelumnya, kita mesti bentuk Lembaga yang bertugas untuk memantau para penunggang Kuda. Ya, bisa kita namakan Horse Watch, atau apa lah yang penting ada watch-nya, gitu.”
“Kita ini miskin rumah sakit binatang, Bagaimana, kalau kuda-kuda kita sakit?”
“Ya, kalau sudah cukup modal, kita dirikan saja rumah sakit khusus Kuda.Kita sediakan layanan apap saja. Sejak pemeriksaan kehamilan Kuda, Persalinan, dan proses pengembangannya. “
“Sukucadangnya?”
“Ini juga peluang bagi bisnis kita. Kita akan membuka pusat pembelajaan yang di dalamnya menyediakan segala peralatan dan acsesoris kuda. Sejak pelana, sepatu kuda, tali, kantong penampung tinda, dan acsesoris lainnya yang berkaitan dengan kuda.”
“Kalau ada pemasok kuda liar yang kualitasnya lebih dari kuda-kuda kita bagaimana?”
“Ini memang agak sulit. Tapi tak perlu diresahkan. Kita bermain dari izin impor kuda. Kita akan tanamkan orang-orang kita, untuk menghambat keluarnya impor kuda dari luar daerah. Katakan saja, dalam otonomi daerah, semua kebijakan harus ditentukan oleh Pemerintah daerah sendiri. Termasuk perizinan impor Kuda.”
“Caranya?”
“Mudah saja. Berikan peluang masyarakat untuk mengembangkan Kuda. Dan kuda induknya harus mengambil dari show room kita. Kalau masyarakat sudah banyak menjadi pemelihara kuda, akan mudah kita mendesak, agar pemerintah tidak mengeluarkan izin impor kuda. Ya, kayakan saja, ini akan merusak perekonomian masyarakat, terutama bagi para peternak Kuda. Kan Beres!”
Aku sebenarnya sudah cukup lelah mendengar ocehan Herman sejak pagi tadi. Untung Istriku sedang pulang kampung. Jadi aku tak punya kewajiban memberi nafkah batin malam itu. Aku biarkan saja Herman ketika malamnya meneruskan gagasannya itu.
“Man, kau bilang, kita akan dirikan rental kuda. Lalu SDM-nya dari mana?”
“Itu gampang. Aku kan punya banyak kawan yang bisa diberdayakan. Mereka kita suruh saja bekerja pada kita. Soal gaji, itu bisa kompromi. Teman-temanku tak pernah bertanya soal gaji. kalau upahnya di bawah UMR, ya kita katakan saja, kita baru merintis. Atau, mereka bisa memandang aku sebagai teman mereka. Jadi, itu soal mudahlah.”
“Kalau sampai upah mereka di bawah UMR, itu sama saja Kau pakai ideologi kuda. Ini akan menimbulkan protes kalangan buruh. Ini sama halnya, kita sedang mengudai teman sendiri, dong.”
“Ya, bukan begitu, Bung. Ini kan tahap awal. Yang pasti, kita tuntut mereka adalah kerja profesional. Ya, kalau saja, gaji mereka tidak mencukupi, ya kita izinkan saja mereka menerima aplop atau tips dari para pelanggan.”
“ Wah, kayak wartawan amplop saja.”
“ Ya, itu risiko. Kalau wartawan jadi kudanya pemilik modal, apa tidak lebih baik menerima aplop saja. Atau kalau mau mempertahankan idealismenya, ya keluar saja. Di perusaahn kita juga begitu. “ Herman tersenyum masam. Ia seakan tersinggung dengan kalimatku. Sebab, diam-diam, Herman juga memiliki perusahaan pers, yang dirinya juga memperlakukan para wartawannya seperti kuda tungganngan. Gajinya di bawah UMR, tetapi dituntut profesional. Herman, sebenarnya lebih gila dari pada aku.
“Kenapa kau diam?”
“E, e, ah enggak, kau hanya...hanya..”
“Nah, ini proposalnya,” Aku serahkan sebundel berkas proposal, lengakp dengan anggaran biaya. “Ini kau serahkan ke DPP. Jadi usaha ini, katakan saja bagian dari pemberdayaan ekonomi rakyat melalui partaimu.”
“Wah, ini bahaya, Bung. Kalau DPP sampai tahu akal bulusmu, aku bisa dipecat sebagai pimpinan partai. Itu mencoreng nama baikku di mata publik. Ini tidak bisa.”
“ Ini hanya tawaran, Bung. Lagi pula, lima tahun ke depan kau kan tidak akan memegang partai ini. Ya, kalau kau tidak sepakat dengan gagasan ini, aku akan cari orang lain saja.”
“Bung,” Herman menepuk pundaku. Ia mencoba menenangkan kegalauan yang sedang berkecamuk. Antara memilih ya dan tidak untuk menggolkan proposal Herman ke DPP.
“Kau yakin sajalah, pihak Pusat tidak akan mengetahui usaha ini. Mereka hanya akan bangga, jika usaha ini maju. Lain tidak. “
“Sebenarnya, aku tertarik dengan gagasanmu itu. Tapi, kau tak setuju dengan akal bulusmu, untuk mempolitisir parpol ini untuk kepentingan bisnis.”
“Alaaah, idealis lagi! Ketua Dewan saja bisa mengeluarkan surat Sakti. Apalagi kau yang punya massa di DPD, DPC dan cabang lainnya. Kenapa mesti takut?”
“Ini tidak manusiawi, Man. Kalau menggaji karyawan di bawah UMR, itu sama halnya, kita telah memperlakukan teman sendiri sebagai kuda. Tidak bisa!”
Herman terdiam. Ia menghela napas panjang, menandakan melepas kekesalan dengan sikapku. Ia kemudian minta pamit. Ia ambil kembali proposal itu. Tanpa salam, ia meninggalkan rumahku. ia tampak kecewa. Tapi biarlah. Ini pelajaran bagi Herman, bahwa aku tidak bisa memperlakukan karyawan seperti kuda.
Setahun kemudian, usaha Kuda Enterprise.Ltd benar-benar terwujud. Tidak jelas, bagaimana ceritanya, tiba-tiba Herman menemuiku dan menyetujui rencana yang sempat tertunda ini. Produk PT Kuda Enterprise.Ltd mulai mengisi setiap kota di provinsi ini. Tetapi, di balik kesuksesannya, tampak jelas, Herman akan segera digugat oleh para karyawannya. Upah para karyawan belum standar UMR. Uli, Gus, Sehab, Robi, para kepala divisi, sepakat melakukan aksi, menggugat Herman. Herman jelas tidak tahu, kalau semua ini, sebenarnya politik yang aku gagasa untuk menjatuhkan Herman di mata Publik.
Kini masyarakat mengetahui, Herman pimpinan partai yang otoriter. Pimpinan PT Kuda Eenterprise.Ltd yang memperlakukan karyawannya seperti kuda. Aku hanya tersenyum puas ketika Herman menjadi pesakitan di pengadilan. Orang-orang pun berteriak memprotes ke DPRD. Beberapa snapduk terbentang. Diantara spanduk itu bertuliskan : “Hancurkan perusahaan kuda.” “Habisi perusahaan yang memperlakukan karyawannya seperti kuda.”
Kuda Enterprise.Ltd bisa saja tutup. Ia dapat saja digulung atau dibakar habis oleh rakyat. Tetapi mungkinkah mentalitas meng-kudai bisa berakhir? Entah!***